MEDIA, SARANA DAN BAHAN BELAJAR
PLS
TENTANG
“ MEDIA
PEMBELAJARAN SALUANG DAN
RABAB”
Oleh Kelompok Pedagogi :
1. DINA SAHLINI (16005054)
2. ELINUR SAKIYAH (16005009)
3. HANIFA ZULMI (16005085)
4. INTAN AULIA (16005017)
5. NOVITA YUSDIANA (16005090)
6. PITRI (16005043)
7. RAMA YULI SARI (16005091)
8. REZA GUSTIA (16005044)
9. SALAIDA MENKA (16005046)
10. SANDRA NOVELISA (16005047)
11. SISKA APRILIA (16005032)
12. VEGA AFRIANTI (16005093)
13. VIVI SRI KURNIATI (16005048)
PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
FAKULTAS ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS NEGERI PADANG
2017
Saluang
Saluang adalah alat
musik tradisional khas Minangkabau, Sumatera Barat. Yang mana alat musik tiup
ini terbuat dari bambu tipis atau talang (Schizostachyum brachycladum Kurz).
Orang Minangkabau percaya bahwa bahan yang paling bagus untuk dibuat saluang berasal
dari talang untuk jemuran kain atau talang yang ditemukan hanyut di sungai[1].
Alat ini termasuk dari golongan alat musik suling, tetapi lebih sederhana
pembuatannya, cukup dengan melubangi talang dengan empat lubang. Panjang
saluang kira-kira 40-60 cm, dengan diameter 3-4 cm. Adapun kegunaan lain dari
talang adalah wadah untuk membuat lamang (lemang), salah satu makanan
tradisional Minangkabau. dalam mebuat saluang ini kita harus menentukan bagian
atas dan bawahnya terlebih dahulu untuk menentukan pembuatan lubang, kalau
saluang terbuat dari bambu, bagian atas saluang merupakan bagian bawah ruas
bambu. pada bagian atas saluang diserut untu dibuat meruncing sekitar 45
derajat sesuai ketebalan bambu. untuk membuat 4 lubang pada alat musik
tradisional saluang ini mulai dari ukuran 2/3 dari panjang bambu, yang diukur
dari bagian atas, dan untuk lubang kedua dan seterusnya berjarak setengah
lingkaran bambu. untuk besar lubang agar menghasilkan suara yang bagus,
haruslah bulat dengan garis tengah 0,5 cm
Pemain saluang
legendaris bernama Idris Sutan Sati dengan penyanyinya Syamsimar.
Keutamaan para pemain
saluang ini adalah dapat memainkan saluang dengan meniup dan menarik napas
bersamaan, sehingga peniup saluang dapat memainkan alat musik itu dari awal
dari akhir lagu tanpa putus. Cara pernapasan ini dikembangkan dengan latihan
yang terus menerus. Teknik ini dinamakan juga sebagai teknik manyisiahan angok
(menyisihkan napas).
Tiap nagari di
Minangkabau mengembangkan cara meniup saluang, sehingga masing-masing nagari
memiliki ciri khas tersendiri. Contoh dari ciri khas itu adalah Singgalang,
Pariaman, Solok Salayo, Koto Tuo, Suayan dan Pauah. Ciri khas Singgalang
dianggap cukup sulit dimainkan oleh pemula, dan biasanya nada Singgalang ini
dimainkan pada awal lagu. Sedangkan, ciri khas yang paling sedih bunyinya
adalah Ratok Solok dari daerah Solok.
Dahulu, kabarnya pemain
saluang ini memiliki mantera tersendiri yang berguna untuk menghipnotis
penontonnya. Mantera itu dinamakan Pitunang Nabi Daud. Isi dari mantera itu
kira-kira : Aku malapehan pituang Nabi Daud, buruang tabang tatagun-tagun, aia
mailia tahanti-hanti, takajuik bidodari di dalam sarugo mandanga bunyi saluang
ambo, kununlah anak sidang manusia...... dan seterusnya [2].
Rabab
Rabab adalah alat musik
gesek tradisional khas Minangkabau yang terbuat dari tempurung kelapa. Dengan
rabab ini dapat tersalurkan bakat musik seseorang. Biasanya dalam rabab ini
dikisahkan berbagai cerita nagari atau dikenal dengan istilah Kaba.
Kesenian Rabab sebagai
salah satu kesenian tradisional yang tumbuh dan berkembang dalam kebudayaan
masyarakat Minangkabau, tersebar dibeberapa daerah dengan wilayah dan komunitas
masyarakat yang memiliki jenis dan spesifikasi tertentu.
Rabab Darek, Rabab
Piaman dan Rabab Pasisie merupakan salah satu kesenian tradisional yang cukup
berkembang dengan wilayah dan di dukung oleh masyarakat setempat. Rabab Darek
tumbuh dan berkembang di daerah darek Minangkabau meliputi Luhak nan Tigo
sedangkan Rabab Piaman berkembang di daerah pesisir barat Minangkabau, yang
meliputi daerah tepian pantai (pesisir).
Pesisir Selatan sebagai
wilayah kebudayaan Minangkabau yang menurut geohistorisnya di klasifikasikan
kepada daerah Rantau Pasisia yang cakupan wilayah tersebut sangat luas dan
didaerah inilah berkembangnya kesenian Rabab Pasisia. Rabab Pasisia ditinjau
dari aspek fisik pertunjukanya memiliki spesifikasi tersendiri dan ciri khas
yang bebeda dengan rabab lainya. Terutama dari segi bentuk alat mirip, dengan
biola secara historis berasal dari pengaruh budaya portugis yang datang ke
Indonesia pada abad ke XVI melalui pantai barat Sumatra.Dalam rabab memiliki
komposisi tersendiri tergantung kepada lagu yang diinginkan dengan memainkan
lagu yang bersifat kaba sebagai materi pokok. Lagu yang lahir tesebut merupakan
ide gagasan yang berasal dari komunitas masyarakat yang berbeda namun ada dalam
daerah yang sama.
Rebab (Arab الربابة
atau ربابة - "busur (instrumen)"),[1] juga rebap, rabab, rebeb,
rababah, atau al-rababa) adalah jenis alat musik senar yang dinamakan demikian
paling lambat dari abad ke-8 dan menyebar melalui jalur-jalur perdagangan Islam
yang lebih banyak dari Afrika Utara, Timur Tengah, bagian dari Eropa, dan Timur
Jauh. Beberapa varietas sering memiliki tangkai di bagian bawah agar rebab
dapat bertumpu di tanah, dan dengan demikian disebut rebab tangkai di daerah
tertentu, namun terdapat versi yang dipetik seperti kabuli rebab (kadang-kadang
disebut sebagai robab atau rubab).
Ukuran rebab biasanya
kecil, badannya bulat, bagian depan yang tercakup dalam suatu membran seperti
perkamen atau kulit domba dan memiliki leher panjang terpasang. Ada leher tipis
panjang dengan pegbox pada akhir dan ada satu, dua atau tiga senar. Tidak ada
papan nada. Alat musik ini dibuat tegak, baik bertumpu di pangkuan atau di
lantai. Busurnya biasanya lebih melengkung daripada biola.
Rebab, meskipun
dihargai karena nada suara, tetapi memiliki rentang yang sangat terbatas
(sedikit lebih dari satu oktaf), dan secara bertahap diganti di banyak dunia
Arab oleh biola dan kemenche. Hal ini terkait dengan instrumen Irak, Joza, yang
memiliki empat senar.Pengenalan rebab ke Eropa Barat telah mungkin bersamaan
dengan penaklukan Spanyol oleh bangsa Moor, di Semenanjung Iberia. Namun, ada
bukti adanya alat musik ini pada abad ke-9 juga di Eropa Timur: ahli geografi
Persia abad ke-9 Ibnu Khurradadhbih mengutip lira Bizantium (atau lūrā) sebagai
alat musik busur khas Bizantium dan setara dengan rabāb Arab.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar